METRUM
Jelajah Komunitas

Silaturahmi Tingkatkan Kesehatan Otak dan Tubuh

PERAYAAN Idulfitri tentu tidak lepas dari kegiatan saling mengunjungi dan saling  memaafkan. Aktivitas ini sekaligus akan mempererat ikatan silaturahmi.

Tidak hanya mereka yang mudik, bahkan mereka yang tetap tinggal di perkotaan pun mewarnai Idulfitri ini dengan silaturahmi, baik dengan keluarga besar maupun dengan tetangga dan kawan.

Banyak manfaat yang bisa diperoleh dari kegiatan silaturahmi ini. Seperti yang diterangkan dalam hadist yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim, disebutkan bahwa silaturahmi dapat meluaskan rezeki dan memperpanjang usia. Bukan hanya itu saja, beberapa penelitian pun mengungkapkan sisi positif silaturahmi bagi kesehatan otak dan tubuh kita.

Dari penelitian yang dilakukan sekelompok peneliti dari University of Michigan AS, dipaparkan, kegiatan silaturahmi yang meliputi berbicara, berdiskusi, dan semua aktivitas interaksi sosial akan membuat otak  makin terasah dan berkembang.  Kemampuan sel otak berkembang dengan adanya rangsangan dari lingkungan yang meliputi interaksi sosial ini dikenal sebagai proses plastisitas otak (neuroplasticity).

Plastisitas otak melibatkan kemampuan otak dalam memodifikasi koneksi-koneksi di antara berbagai kelompok sel otak. Plastisitas otak yang merupakan aktivitas kimia otak ini penting bagi seluruh aspek fungsi otak  termasuk aspek berpikir (kognisi), mengingat (memori), motivasi, bahkan aspek emosi sekalipun.

Plastisitas otak merupakan kemampuan otak melakukan reorganisasi dalam bentuk adanya interkoneksi baru pada saraf. Hal ini merupakan sifat yang menunujukkan kapasitas otak untuk berubah dan beradaptasi terhadap kebutuhan fungsional.

Makin banyak rangsangan positif dari lingkungan dalam bentuk interaksi sosial yang meliputi rasa empati, saling memaafkan, serta komunikasi dalam bentuk diskusi yang saling mendukung, maka proses-poses kimia dalam otak yang terlibat dalam mekanisme plastisitas otak akan makin membentuk otak ke arah yang lebih baik.

Gambaran plastisitas berbeda dengan elastisitas. Jika suatu benda awalnya berbentuk segi empat, lalu diberi suatu perlakuan intervensi, maka benda tersebut menjadi berbentuk segitiga. Tetapi di akhir proses setelah intervensi itu dihilangkan maka benda itu kembali berbentuk segi empat seperti saat awal sebelum proses, maka hal tersebut dikenal sebagai elastisitias.

Namun, jika bentuk awal benda itu segiempat, lalu setelah sekian lama diberi perlakuan/intervensi/rangsangan berubah bentuk menjadi segitiga, di mana pada akhir proses setelah intervensi itu dihilangkan dan benda tetap berbentuk segitiga, maka inilah yang disebut dengan plastisitas.

Dengan demikian, maka otak yang mengalami rangsangan positif dari lingkungan/interaksi sosial, akan melalui rangkaian proses-proses kimia ke arah perkembangan otak yang makin positif.

Perubahan tingkah laku

Keadaan otak yang positif  akan membawa dampak perubahan tingkah laku yang juga positif. Makin banyak rangsangan positif dari hasil interaksi sosial dalam silaturahmi, maka plastisitas otak akan makin membentuk otak ke arah yang lebih baik.

Selain menimbulkan rangsangan positif terhadap otak, dalam rangkaian silaturahmi pun seperti situasi berjumpa dengan kawan/kerabat yang sudah lama tidak bertemu,  bertegur sapa dan saling bertukar cerita, bahkan saling memaafkan, tentu akan menimbulkan rasa bahagia.

Dari hasil penelitian para peneliti dari University of California. Los Angeles, yang dipaparkan dalam jurnal Nature Communications, disebutkan, pada saat seesorang bahagia, maka pada otaknya akan ditemui zat kimia hypocretin yang bekerja hampir sama dengan hormon dopamin. Zat kimia ini bertanggungjawab dalam memunculkan rasa senang dan bahagia. Kadar hypocretin akan meningkat bersamaan dengan meningkatnya emosi positif dalam interaksi sosial.

Imunitas meningkat

Makin banyak emosi positif yang lahir dalam suasana silaturahmi, maka imunitas tubuhpun akan makin meningkat. Hal ini seperti dalam penelitian psiko-neuroimunologi (PNI), cabang ilmu yang mengekplorasi hubungan otak, tubuh dan sistem imun yang dipaparkan dalam jurnal of Medicine.

Disebutkan bahwa kondisi emosional yang meliputi rasa tidak bahagia seperti stres, takut, atau marah akan membuat tubuh memproduksi hormon kortisol, adrenalin dan epinefrin yang akan menghambat tubuh dalam menanggulangi infeksi atau virus yang masuk ke dalam tubuh, membuat tubuh menjadi lemah dan mudah sakit.

Lain halnya jika kondisi otak bahagia, merasa santai dan rileks seperti saat berbincang-bincang dalam aktivitas silaturahmi. Tubuh pun akan memproduksi hormon seretonin, dopamin, relaksin, atau oksitosin. Ketika hormon-hormon ini masuk ke dalam aliran darah, mereka akan mengirimkan sinyal agar tubuh menciptakan lebih banyak sel imun.

Bahkan tertawa hanya lima menit saja dalam suasana senda gurau santai, secara signifikan dapat meningkatkan jumlah sel darah putih yang berfungsi untuk membunuh penyakit. Bahkan para ahli mengklaim jika dukungan yang kuat dari orang-orang tercinta seperti ikatan dukungan yang terbentuk dari silaturahmi, dapat membantu penyembuhan pasien kanker.

Untuk itu, jika masih ada kesempatan, perbanyaklah silaturahmi dan saling memaafkan untuk menciptakan suasana otak/pikiran yang relaks dan positif, hingga terbina persaudaraan yang kuat, saling dukung,  saling berempati, memperkuat rasa cinta kasih demi terciptanya tubuh-tubuh dan otak yang makin sehat. (Y Zakiah Aalumnus FMIPA Unpad, Sumber: “PR” 29/06/2018)***

komentar

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: