KOTA Bandung kini telah berusia 199 tahun, dan biasa dirayakan setiap tanggal 25 September. Suatu usia kota yang belum terlalu tua, juga tidak bisa dibilang muda. Setidaknya Kota Bandung kini semakin dewasa. Hal ini dicirikan dengan masyarakat kotanya yang semakin mandiri dan kreatif serta kritis sehingga para pembuat kebijakan kota tidak bisa merancang kota dengan hanya mengandalkan pendekatan konvensional yang melihat dimensi kota hanya dari aspek tata ruang dan rekayasa tata guna lahan semata sebagai basis pembangunan kota.
Pembangunan kota ke depan justru harus diletakkan pada nilai-nilai sosial-kuktural sebagai fundamen pembangunan kota sehingga akar budaya lokal-tradisional kota tidak harus tercerabut oleh langkah modernisasi. Kota harus didesain menjadi ”places of soliderity”, kampung bersama bagi warganya, saat ini dan di masa depan.
Menata kota ternyata memerlukan suatu sentuhan seni dan keterampilan yang dapat mengolaborasi aspek tata ruang dan aspek sosial yang bisa berjalan secara harmonis–estetis. Dengan demikian, kota terbangun bukan hanya didasarkan atas rekayasa teknis ketataruangan semata, melainkan kota yang terbangun kokoh atas dasar pinsip-prinsip dan nilai-nilai kota yang humanis, yaitu suatu kota yang dapat membangun pola hubungan individu warga, kelompok, bahkan pendatang serta lingkungannya yang saling berinteraksi secara selaras, harmoni dan seimbang serta berkesinambungan.
Untuk maksud itulah, dalam menangani Kota Bandung, diperlukan sentuhan yang imaginatif dan inspiratif serta kreatif karena memang karakter penduduk Kota Bandung yang didominasi generasi muda terdidik yang dinamis, juga kota yang sangat kental dengan karakter urban, di mana hampir semua suku bangsa yang ada di Indonesia ikut memberikan warna dalam pembangunan Kota Bandung. Dengan demikian, budaya kosmopolitan merupakan suatu keunggulan kompetitif yang bisa dikembangkan dalam membangun kota yang semakin kreatif.
Untuk menuju ke sana, Kota Bandung telah memiliki modal yang sangat kuat, karena sejak tahun 2007 menjadi salah satu kota pertama di Indonesia yang masuk ke dalam jejaring ”East Asia Creative City Network” yang pusatnya di Yokohama, Jepang. Kini Kota Bandung memiliki jejaring dengan kota-kota lainnya di Asia-timur dan Asia Tenggara yaitu :Yokohama, Auckland, Hongkong, Taipei, Bangkok, Manila, Kuala Lumpur dan Singapura. Pertanyaannya sekarang adalah, mengapa kita harus masuk dalam jejaring kota kreatif?
Alasan yang sangat kuat dan rasional adalah seperti apa yang dikatakan oleh Director British Council Indonesia, Mike Hardy, pada saat Kota Bandung dipilih sebagai pilot project kota kreatif se-Asia Timur dan Asia Tenggara. Dia mengatakan, Kota Bandung memiliki potensi besar untuk mengembangkan industri kreatif.
Sebagai kota ke-4 terbesar di Indonesia dengan 2,5 juta penduduknya, saat ini Bandung sudah memiliki 400 outlet industri kreatif. Di Bandung, industri kreatif bergerak pada bidang fashion, desain, dan musik. Bahkan khusus industri musik, musisi-musisi kota ini menjadi kiblat perkembangan industri musik di Indonesia. Boleh dibilang bahwa musik indonesia telah dikuasai oleh anak Bandung, seperti Peterpan, ST12, T2, Changcuters, Kuburan, RIF, Pas Band, Krakatau, Five Minute, Mata, Anima, Elfa, javajive, kahitna dan lainnya.
Hal menggembirakan adalah pengelolaan industri kreatif tersebut ternyata dikelola oleh anak-anak muda Bandung. I ndustri kreatif di kota ini telah menyerap 344.244 tenaga kerja dan memberikan kontribusi 11 persen untuk ekonomi Bandung.
Melihat data di atas, tidaklah salah jika pemkot dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) menuangkan industri kreatif sebagai pendorong pembangunan ekonomi kota. Adapun yang menjadi basis berkembangnya industri kreatif sebenarnya adalah potensi SDM itu sendiri, yang unsur utamanya adalah kreativitas, keahlian, dan talenta. Beruntunglah Bandung karena memang banyak diberikan anugerah atas hadirnya generasi yang memiliki talenta tinggi dalam berbagai bidang industri kreatif.
Hadirnya komunitas kreatif seperti ”Bandung Creative City Forum (BCCF)” yang menjadi counterpart pemerintah kota dalam mengembangkan industri kreatif, telah menunjukkan bahwa Bandung memiliki talenta muda yang kreatif. Disanalah tempat berhimpunnya generasi muda yang super kreatif sekaligus aktif, merancang, mengembangkan, dan membangun jejaring industri kreatif kota dalam tingkat global.
Untuk mengakomodasi sejumlah aktivitas dan kreativitas warga kota, tuntutan teman-teman generasi muda yang aktif dalam pengembangan industri kreatif adalah menginginkan adanya ”Gedung Creatif Corner dan Development Centre” yang merupakan kebutuhan mendesak dan menjadi agenda kota yang penting untuk segera diwujudakan.
Untuk menyalurkan energi kreativitas sekelas Bandung, memang tidak hanya kebutuhan gedung tersebut di atas, tetapi kota yang kreatif memerlukan ruang pameran, konfrensi dan meeting room, serta kebutuhan tempat untuk mendukung kegiatan eksibisi lainnya.
Hingga saat ini, Departemen perdagangan RI telah mencatat lima belas cakupan kelompok ekonomi kreatif, yaitu meliputi: (1) Jasa periklanan, (2) Arsitektur, (3) Seni Rupa; (4) Kerajinan; (5) Desain (6) Mode (fashion); (7) Film; (8) Musik; (9)Seni Pertunjukan; (10) Penerbitan; (11) Riset dan Pengembangan; (12) Piranti Lunak (software); (13) Televisi dan Radio; (14) Mainan; dan (15) Video game.
**
LALU bagaimana seharusnya Kota Bandung mengembangkan potensi di atas? Kita bisa menjelaskannya dari apa yang digambarkan oleh Charles Landry. Dalam bukunya ”The Creative City” (2000), ia mengatakan bahwa untuk mendorong suatu kota agar lebih kreatif, maka kota itu harus dapat menciptakan lingkungan yang sesuai agar masyarakatnya dapat berpikir, membuat rencana, dan beraktivitas dengan imaginasinya dalam rangka memperkuat peluang kotanya untuk berkembang.
Itulah sebabnya dibutuhkan prasyarat agar Bandung menjadi lebih kreatif. Pertama, adanya infrastruktur kreatif, yaitu kombinasi antara infrastruktur fisik dan nonfisik seperti infrastruktur mental, cara bagaimana suatu kota meraih peluang dan mengatasi permasalahannya. Kedua, lingkup infrastruktur nonfisik tersebut mencakup tenaga kerja yang berkeahlian dan fleksibel, pemikir, dinamis dan pencipta industri kreatif.
Untuk mengembangkan sebuah kota menjadi kreatif, tergantung kapasitas dan kualitas unsur-unsur yang membentuk suatu kota menjadi lebih kreatif, yaitu kepemimpinan kota yang kreatif. Hal yang lebih penting adalah mereka memiliki kemampuan untuk merespons terhadap perubahan ragam selera dan gaya hidup warganya dengan memberikan ruang gerak yang cukup untuk berekpresi.
Hal di atas tersebut bisa diwujudkan melalui penyediaan kawasan khusus bagi warga untuk berekspresi.
Kedua, para pengelola kota harus memiliki kemampuan untuk menumbuhkan semangat kewirausahan kreatif melalui peningkatan apresiasi terhadap nilai-nilai kreatif yang mendorong tumbuhnya usaha kreatif.
Ketiga, pemerintah kota harus mendorong dan merespons terciptanya berbagai desain kreatif dari setiap warganya.
Keempat, pemerintah kota harus mampu memperluas energi kreatif warganya dari skala komunitas menuju skala yang lebih luas melalui ekshibisi yang mampu mempromosikan produk kreatif warganya dalam level yang lebih luas, baik di tingkat nasional maupun internasional. Bila hal itu mampu dilakukan pemerintah kota, barulah Bandung telah siap menjadi kota yang kreatif. (M1/Sumber “PR”, 06/10/09)***