METRUM
Jelajah Komunitas

Kitakyushu, Kota Percontohan dalam Memecahkan Masalah Lingkungan

WALAUPUN pergi ke luar negeri dapat dikatakan sebagai salah satu impian orang Indonesia, tetapi Saya yakin tidak semua terpikir untuk tinggal lama atau bahkan menjadi penduduk di luar negeri. Tidak terkecuali ini menimpa diri Saya, menjadi perantauan di negeri Sakura.

Indriyani R.*

Pepatah ‘hijaunya rumput tetangga selalu lebih menggoda’ rasanya tidak berlaku saat itu, karena keinginan untuk pulang faktanya lebih mengganggu dibandingkan untuk tinggal lebih lama lagi di Jepang.

Hal lain yang menjadi alasan Saya untuk bertahan lebih lama tinggal di Jepang, Saya beruntung dikelilingi oleh orang-orang yang banyak memberikan masukan, ide, dan semangat. Mulai dari suami, anak, teman-teman baik yang berasal dari Indonesia hingga penduduk lokal. Mereka adalah orang-orang luar biasa yang kemudian mendorong Saya untuk menguasai bahasa Jepang dan melanjutkan kembali study hingga jenjang S3 di Kitakyushu.

Seperti diketahui banyak orang, Jepang terkenal dengan lingkungannya yang bersih, penduduknya yang ramah, serta disiplin dan konsisten dalam penerapan peraturan.

Kondisi ini Saya coba sandingkan dengan pengalaman Saya saat menjadi pengajar di Bandung, sehingga memunculkan ide untuk meneliti lebih jauh tentang pola pendidikan terhadap anak usia sekolah dasar dan menengah pertama, khususnya terkait dengan pelestarian lingkungan.

Mengapa lingkungan? Tersirat dalam benak Saya waktu itu adalah, “Kok bisa sih membuat lingkungan seperti ini?”, “Saya yakin Indonesia juga bisa!”, dan beberapa hal lain yang berkecamuk di dalam kepala Saya.

Ide ini juga yang kemudian digunakan sebagai hipotesa atau pertanyaan ketika memasuki gerbang perkuliahan S2. Sejak saat itu, aktivitas dan kesibukan Saya selalu berada di seputar ‘lingkungan’ yang kemudian secara perlahan menyempit ke persoalan sampah.

Secara perlahan kekaguman Saya semakin bertambah, manakala pendidikan mengenai lingkungan di Jepang mendapatkan porsi yang sangat besar pada jenjang sekolah dasar dan sekolah menengah.

Teringat sebuah cerita yang tersebar di media sosial bahwa mengajarkan anak untuk antri harus diawali sejak dini dibandingkan pelajaran matematika. Sepintas seperti sebuah candaan, tapi faktanya hal itu terjadi di negara-negara yang maju, termasuk Jepang.

Saat kunjungan pertama kali mengantar anak ke sekolah, Saya tidak mau kehilangan momen untuk juga investigasi kecil-kecilan bagaimana keseharian para siswa di Jepang. Mulai dari halaman luar sekolah, masuk gerbang sekolah, kelas, bahkan hingga toilet, ternyata sama sekali tidak ada sampah berserakan dan bau sampah yang tercium.

Kunjungan ke sekolah, Saya manfaatkan juga untuk melihat perilaku anak di sekolah. Ketika saya amati, ada seorang anak masih usia kelas 1 SD terlihat sedang membawa sampah plastik bekas kemasan menuju ke lokasi tempat sampah. Saat hendak membuang sampah, anak itu berdiam sejenak di depan tempat sampah, lalu membuangnya ke tempat sampah paling kiri.

Rasa penasaran mendorong Saya untuk juga mendatangi tempat sampah tersebut. Ternyata, anak tadi berpikir terlebih dahulu tempat sampah mana yang tepat untuk membuang sampah yang dibawanya.

“Luar biasa,” bisik Saya dalam hati.

Setelah saya lebih jauh, bahkan memilih tempat sampah pun termasuk dalam pelajaran sekolah.

Hal-hal kecil inilah yang kemudian Saya ramu menjadi sebuah materi penelitian, yang kemudian mendapat persetujuan dari dosen pembimbing di kampus. Tidak saja pada jenjang master, bahkan isu ini Saya lanjutkan lebih dalam sebagai bahan penelitian doctoral student di Kitakyushu Unversity, sebuah kampus kecil milik Pemerintah Kota Kitakyushu yang terkenal dengan fokus pendidikannya pada hal-hal yang terkait lingkungan.

Problem Based Learning atau dikenal dengan istilah PBL merupakan salah satu metode yang Saya gunakan dalam menyusun disertasi, dimana pada intinya adalah mengawali pengenalan lingkungan melalui potret dari situasi yang ada di sekitar kita.

Metode ini memancing munculnya banyak pertanyaan dari para siswa, ‘mengapa bisa begini?’, ‘mengapa bisa begitu?’, ‘ini kan sampah, kok ada di sini?’, dan seterusnya. Dari sini kemudian para siswa memberikan masukan-masukan bahwa seharusnya barang-barang ini tidak di sini, seharusnya barang-barang ini diperlakukan seperti ini atau seperti itu, dan seterusnya.

Karena, yang akan ditampilkan adalah gambaran lingkungan di sekitar manusia, maka tentunya alat terbaik yang digunakan harus dalam bentuk visual, baik film maupun gambar (kertas). Oleh sebab itu, Saya menggunakan teknik Kamishibai. (“kami” berarti kertas, sedang “shibai” adalah yang dimainkan di teater). Secara harfiah, itu bisa diartikan sebagai kertas drama. Pencerita berkisah melalui helai kertas demi kertas. Kamishibai merupakan teknik bertutur atau mendongeng tradisional Jepang yang ada sejak abad ke-12.

Selama masa pendidikan, untuk memenuhi kebutuhan penelitian, Saya mempraktekkan metode ini di beberapa sekolah di Jepang dan juga di Indonesia. Lumayan, dengan menerapkan metode ini, sekalian menikmati pulang kampung tanpa harus mengeluarkan uang sendiri.

Dibantu oleh para guru di masing-masing sekolah, kertas-kertas bergambar mulai dibagikan kepada para siswa. Meski kertas belum sampai di tangan, terlihat mata mereka menunjukkan rasa penasaran dan keingintahuan terhadap gambar-gambar tersebut. Beberapa sudah berteriak menebak atau menyebutkan maksud dari masing-masing gambar.

Semula Saya ragu dengan proses ini, karena apa yang akan ditampilkan adalah gambaran lingkungan sehari-hari yang Saya pikir anak-anak akan ‘acuh’ dan menganggapnya biasa saja. Ternyata yang terjadi adalah sebaliknya, seolah-olah mereka menemukan gambar baru.

Terdengar bisikan dari seorang anak, “Iihhh… jorok, buang sampah sembarangan.” Terdengar juga bisikan lain, “Kasihan ikannya mati gara-gara makan sampah,” dan beberapa bisikan lain yang membuat Saya tersenyum.

Setelah lulus master dalam bidang pendidikan lingkungan hidup, saya berkesempatan melanjutkan program doktoral dalam bidang yang sama, ditambah dengan management lingkungan. Kesempatan ini saya gunakan untuk mempelajari banyak model pemecahan masalah lingkungan, untuk dijadikan model di Indonesia. Alhamdulillah, Allah SWT memberikan kelapangan rejeki, walaupun selama kuliah master dan doktor, saya tidak mendapat bantuan beasiswa.

Setelah lulus program doktor di Unversitas Kitakyushu, professor matsumoto memberikan kesempatan yang baik kepada saya untuk menjadi researcher di laboratorium beliau, dengan melakukan proyek-proyek penelitian di Indonesia.

Lebih jauh, Saya pikir bahwa Kitakyushu sebagai sebagai kota percontohan dalam memecahkan masalah lingkungan sebaiknya dapat diketahui oleh orang banyak. Berdasarkan hal tersebut, ditambah pengetahuan dan pengalaman yang saya miliki tentang Kitakyushu, mulailah saya mengajak beberapa universitas untuk bergabung dalam kerjasama penelitian yang berkaitan dengan tema lingkungan.

Masih ingat dalam benak Saya, berkeliling ke 5 universitas di Indonesia untuk mengajak kerjasama penelitian. Alhamdulillah disambut dengan hangat. Kegiatan ini melahirkan MOU kerjasama penelitian di bidang lingkungan dengan judul proposal besarnya: Study on Urban Environmental Management of Indonesia Cities Considering Applicability of ‘Kitakyushu Model’ as Japanese Advanced Eco-model City.

Sekarang sudah ada 13 Perguruan Tinggi ( USU, UNAND, UNLA, Univ Bengkulu, ITB, UPI, UNPAS, UNILA, UM, Univ Brawijaya, UNAIR, UNDIP, Univ. Pakuan Bogor) yang tergabung dalam kerjasama penelitian dengan Lab Matsumoto Universitas Kitakyushu.

Hasil kerjasama ini telah melahirkan banyak jurnal international dan sempat 3 kali menyelenggarakan seminar international di jepang maupun di Indonesia. Salah satu seminar yang diselenggarakan di antaranya adalah Simposium Internasional tentang Resource Circulation System Based on Community-Based Approach : Focus on Indonesian Waste Bank, Kitakyushu International Center, Fukuoka, Jepang, pada tahun 2018.

Selain itu, sudah 4 tahun ini saya juga menjadi koordinator kegiatan exchange student dan training untuk mahasiswa Indonesia yang ingin belajar tentang lingkungan lebih lanjut.  Mereka diajak mengunjungi dan mengikuti kuliah mengenai lingkungan melalui program sakura dan low carbon.

Saat ini, banyak dosen dan juga pemerintah daerah di Indonesia yang ingin mempelajari lebih jauh Kitakyushu sebagai kota yang ramah lingkungan. Ke depan, Saya berharap, ada banyak mahasiswa Indonesia yang melanjutkan sekolah di Kitakyushu. (Indriyani Rachman, Penulis tinggal di Kitakyushi-shi, Fukuoka, Jepang).***

komentar

Komen yang ditutup, tetapi jejak balik dan ping balik terbuka.