
BERAWAL dari saling interaksi, komentar, kritik, dan saran atas karya yang diunggah para pengguna jejaring sosial Facebook, yang memiliki hobi yang sama membuat ilustrasi ala Wedha, terbentuklah komunitas Wedha’s Pop Art Portrait (WPAP).
Pada mulanya, anggota komunitas hanya berinteraksi di dunia maya saja, namun setelah sekian lama saling sharing atas karya WPAP yang dibuat, komunitas sepakat membuat pertemuan dan pameran karya bersama, sekaligus menetapkan tanggal pameran 27 September 2010 sebagai hari jadinya. Pameran pertama komunitas berlangsung 27 September – 07 Oktober 2010 di Mall Grand Indonesia, Jakarta. Pada awal dibentuknya, anggota yang terdaftar sekitar 300 orang.
Saat ini, interaksi di dunia maya di mediasi website komunitas http://www.wpapcommunity.com. Pada awal dibentuknya, anggota yang terdaftar sekitar 300 orang. Sekarang sudah berkembang menjadi 17.000 anggota lebih yang terdaftar. Itu pun belum termasuk pengagum, penyuka yang tidak terdaftar.
Anggota tersebar dari seluruh wilayah Indonesia dan memiliki latar belakang yang berbeda. Mulai dari kalangan awam seperti pelajar, mahasiswa, pedagang kuliner, hingga ibu rumah tangga. Sampai kalangan profesional, seperti desainer grafis, fotografer, ilustrator, advertisement, chef, hingga dokter.
Komunitas WPAP diharapkan menjadi wadah bagi masyarakat Indonesia dari berbagai kalangan yang menyukai karya WPAP dapat ikut berpartisipasi dan mengembangkan karya ini sebagai karya asli Indonesia yang bisa mendunia. Sebagaimana keyakinan Wedha Abdul Rasyid, sang founder, bahwa melalui seni pop art ini semua lapisan masyarakat Indonesia bisa terlibat dan berpartisipasi dalam penciptaannya. Karena selama ini, dalam kacamata Wedha, pelaku seni rupa pop art selalu orang-orang Eropa dan Amerika. Padahal orang Indonesia juga memilki peluang besar untuk tampil ke depan.
Dalam kurun waktu dua tahun terakhir, para aktivitas Komunitas WPAP (sering disebut WPAPers) semakin menggeliat. Sekitar enam belas event berskala nasional dan internasional telah diikuti. Itupun belum termasuk undangan even dari luar negeri. Komunitas pernah menyelenggarakan pameran di mal besar, kampus (Pasar Seni ITB, UI, ISI Jogya, UKSW Solo), perhelatan musik besar seperti Java Jazz dan Rockvolution, dan juga event-event pameran yang diadakan chapter masing-masing komunitas (Jateng, Jatim, Sulawesi, dan Jabar).
Di penghujung 2012, komunitas WPAP dipercaya Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) sebagai salah satu sub koordinator penyelenggara even kesenian bergengsi, terlama dan terbesar yang rutin digelar DKJ yaitu Jakarta Biennale 2011- Jakarta Maximum City; Survive or Escape. Dalam event dua tahunan ini, komunitas WPAP di plot menjadi sub koordinator untuk pameran di situs Taman Ayodya yang berada di Barito, Jakarta Selatan. Pameran tersebut melibatkan sekitar lima puluh seniman WPAP. Para WPAPers itu melukis dan memamerkan kurang lebih lima puluh tokoh marginal seperti pedagang asongan, pengamen, seniman jalanan dan seniman di kantung seni Warung Apresiasi (seniman bulungan). Karya WPAP dari anggota komunitas dapat dinikmati masyarakat umum dari 4 Desember 2011- 14 Januari 2012.

Saat ini, komunitas tidak hanya sharing di jejaring dan memamerkan karya WPAP anggotanya di berbagai event, komunitas juga mulai memfasilitasi segala bentuk aplikasi desain dari karya anggotanya menjadi produk T-shirt, mug, pin, kalendar, dan lain sebagainya. Komunitas juga secara rutin mengikuti event seperti Jakarta clothing, selain online shop yang sudah berjalan di website dan juga House of WPAP (HOW) sebagai galeri karya dan direct sellingdari para anggota.
Kini, seni lukis wajah dengan facet warna-warni bersudut tanpa garis lengkung (kurva) ini semakin populer. Tidak seperti awalnya, yang terkungkung sebatas wacana diskusi semata dan karya hanya sekadar silih berganti menjejali dinding pengguna dan beranda di jejaring sosial facebook dan twitter di dunia maya. Karya WPAP mulai merambah produk. T-Shirt, mug, pin, kalender, juga media massa. Karya WPAP mulai dinikmati masyarakat Indonesia.
Seperti yang ditulis Wedha dalam bukunya Wedha & WPAP, impian, cita-cita dan harapan akan berkembang berbanding lurus dengan kualitas dan intensitas dari upaya mewujudkannya. Semakin masyarakat Indonesia mengenal apa itu WPAP, menyukai, sampai akhirnya membanggakan bahwa WPAP adalah milik bangsa Indonesia, seperti Bangsa Jepang yang bisa dengan bangga mengatakan bahwa gaya gambar manga adalah milik mereka.
Upaya Wedha dan komunitas mewujudkan karya WPAP sebagai karya original anak negeri yang sedang menjadi tuan di rumah di negeri sendiri dan berharap menjadi bintang di negeri lain patut kita dukung. Tentunya mewujudkan impian itu dibutuhkan upaya yang berkualitas dan berkesinambungan, terutama dari dukungan dan kekompakan komunitas. Seperti jargon yang sering dilontarkan di komunitas, ”Jangan ada kurva di antara kita!” (M1)***