Geliat Komunitas WPAP Chapter Bandung
SUDAH melihat poster Soekarno dan Nelson Mandela yang banyak dipasang di jalanan menjelang perhelatan akbar 60 tahun Konferensi Asia-Afrika yang dirayakan di Kotan Bandung? Atau seni gambar Soekarno yang hingga kini masih tampil menghiasi pusat Kota Bandung? Ya, inilah pop art marak warna yang dibuat oleh komunitas WPAP (Wedha’s Pop Art Portrait) Chapter Bandung.
Karya jenis pop art WPAP adalah potret wajah yang semarak warna dan kubistis. Meski warna yang bertabrakan tetapi tetap menunjukkan karakter wajah asli. Dimensi dari gambar yang di-trace (gambar ulang dengan acuan) tidak berubah, sehingga penampakan akhir dari objek yang ditransformasi jelas dan menyerupai aslinya sehingga mudah dikenali. WPAP memaksa pegiatnya untuk membuang jauh konsep realisme.
Bisa dibilang, teknik menggambar dengan WPAP sangat kental unsur intuisinya. Ya, WPAP memang teknik desain grafis jenis pop art untuk wajah. Jika pun ada benda lain yang memakai teknik tersebut, kerap disebut anomali WPAP. Yang menarik, teknik pop art itu asli buatan anak bangsa.
Komunitas WPAP Chapter Bandung lahir dua tahun setelah komunitas pusat terbentuk. Ketua Komunitas WPAP Chapter Bandung Ahmad Nada mengatakan jika pertemuan dengan sesama anggota komunitas sudah terjalin melalui jejaring sosial Facebook. Karena merasa berasal dari kota yang sama, akhirnya beberapa anggota melakukan kopi darat di kantor Redaksi Pikiran Rakyat, Jalan Soekarno-Hatta No. 147 Bandung, 9 Januari 2012. Itulah yang dianggap momen terbentuknya komunitas.
“Sebelum diresmikan, kami sudah sempat mengerjakan proyek bersama. Kala itu untuk membuat proyek in memoriam untuk laporan akhir tahun khas Pikiran Rakyat di akhir 2011,” kata Abah, panggilan akrab Ahmad Nada.
Hingga saat ini, anggota WPAP Chapter Bandung sudah tercatat lebih dari 833 orang. Namun, yang benar aktif sering berkumpul sekitar 30 orang. Sebarannya mencakup beberapa kota di Jawa Barat, tak hanya Kota Bandung. Awalnya, WPAP Chapter Bandung juga memiliki anggota yang berasal dari daerah Jawa Barat lainnya seperti Cirebon, Sumedang, hingga Ciamis. Lalu seiring dengan berjalannya waktu, daerah-daerah lainnya tersebut semakin bertambah anggotanya dan memustukan untuk memiliki komunitas WPAP di wilayahnya masing-masing. (WPAP Chapter Bandung mulanya adalah WPAP Chapter Jawa Barat).
WPAP Chapter Bandung sebagai wadah bagi pecinta seni WPAP di Bandung, terbuka bagi siapa saja yang ingin bergabung. Untuk menjaring anggota dan mempromosikan komunitasnya, WPAP Chapter Bandung membuat grup di Facebook, membuat akun Twitter, dan Instagram.

Nada mengatakan, beragam profesi ada di komunitas itu seperti mahasiswa, desainer grafis, chef, pengusaha garmen, dokter, hingga ibu rumah tangga. Setiap pekan pertama dan ketiga, komunitas tersebut berkumpul di Balai Kota Bandung. Tentu saja selain silaturahmi, ada sesi berbagi teknik WPAP, khususnya kepada anggota baru.
“Sekarang anggotanya sudah terdiri dari warga Bandung yang berbeda usia dan juga profesinya. Mulai dari anak SMA sampai Ibu-ibu. Lalu dari kalangan profesi yang background-nya seni sampai koki dan dosen juga ada,” ucap Ahmad Nada selaku ketua WPAP Chapter Bandung. Hal ini membuktikan bahwa tidak ada batasan bagi siapa saja yang ingin bergabung di dalam WPAP Chapter Bandung.
Menurut Nada, tidak butuh bakat tertentu bagi seseorang yang ingin mempelajari WPAP. Kini, dengan bantuan software komputer, pengerjaannya bisa lebih mudah ketimbang dahulu. Hanya memang perlu diasah taste saat memberi warna ataupun membuat facet wajah.
“WPAP itu pop art asli Indonesia dan punya aturan main sendiri. Di antaranya, dalam satu potret warnanya mesti kontras alias harus berbenturan, tidak boleh gradasi warna. Tidak boleh skintone(warna kulit). Trace facet juga tidak boleh melengkung, harus bersudut. Tantangan membuat pop art ala WPAP itu harus patuh pada pakem. Soal warna, harus perhatikan juga warna dalam, tengah, dan luar (gelap dan terang). Faset biasanya minimalis, dan mereka yang sudah ahli biasanya piawai dalam membuat faset dan memberikan warna,” tutur Nada.
Anggota komunitas WPAP Chapter Bandung “angkatan pertama”, Ihsan Ekaputra, mengenal WPAP saat berselancar di internet pada 2010 lalu. Bahkan saat berlatih teknik tersebut, ia masih berkesempatan dilatih langsung oleh Wedha melalui Facebook. Baginya, melukis secara WPAP sangat mengandalkan feeling. “Teknik itu cukup menantang buat saya. Dari membuat faset yang harus mirip, serta dimensi warna yang harus terjaga,” ujarnya.

Pegiat WPAP angkatan pertama lainnya adalah Tri Andajani. Pertama kali menekuni gaya pop art itu 2010, ia langsung jatuh cinta. Menurut dia, sulit untuk melukis wajah seseorang dengan begitu banyak warna dan pakem-pakemnya yang ketat. “Tapi, justru di situ tantangannya. Saya harus berlatih cukup lama untuk bisa puas dengan hasilnya,” ucapnya.
Karya seni memang bergantung selera yang menikmatinya. Akan tetapi, untuk karya WPAP, meskipun sudah memiliki aturan yang jelas, tetap terlihat mana karya pemula dan yang sudah mahir. Biasanya, menurut Tri, itu terlihat dari garis-garis facet-nya yang rapi serta paduan warnanya yang “enak dilihat”. “Agak sulit dijelaskan memang. Tapi setiap orang itu punya ciri sendiri. Ada yang sering menonjolkan warna tertentu, misalnya fuschia, atau facetnya minimalis dan kubistis. Tapi secara keseluruhan karya WPAP yang baik adalah yang paling terlihat mirip dengan wajah atau ekspresi aslinya,” katanya.
Tri menjelaskan, meskipun harus membenturkan warna, ternyata tak semudah itu. Pembuatnya harus mengerti komposisi warna. Kalau tidak hati-hati, bisa membuat karya terlihat gradasi atau malah terlampau terang dan gelap. Itu yang harus dihindari. Ia menerangkan, menekuni WPAP terbilang cukup menjanjikan dari segi komersial. Kendati karya WPAP sudah cukup dikenal di dunia internasional, sebagian besar anggota komunitas menjadikan proyek membuat WPAP sebagai profesi sampingan yang dikerjakan di luar pekerjaan utama.(M1)***