METRUM
Jelajah Komunitas

Cita-Cita Semesta Para Pemuda Cimande

HAMPARAN tanaman jagung berbaris rapih di lahan seluas dua lapangan sepak bola. Di tengah terik matahari, beberapa orang dengan cekatan membersihkan rumput dan tanaman liar di sela-sela tegalan. Menariknya, tubuh mereka masih berbalut kulit yang mulus dan otot yang berisi. Jauh dari potongan petani desa pada umumnya yang renta dan berambut putih.

Demikian pemandangan di Kampung Sukalillah, Desa Jenggala, Kecamatan Cidolog, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Sudah tiga bulan terakhir ini, para pemuda yang tersisa di kampung tersebut memobilisasi diri untuk bertani. Padahal, sedari kecil, mereka sudah jauh dari urusan tanah dan tanaman.

“Pemuda itu butuh motivasi supaya berdaya,” buka Ipan Zulfikri, sang motor penggerak, ketika berbincang-bincang dengan saya. “Desa juga harus mendukung secara moral dan moril supaya para pemudanya bergerak,” papar aktivis pergerakan desa ini. Dan terbukti, rumusan Ipan ini berhasil menggerakkan 10 orang pemuda di kampungnya tersebut.

Sepuluh orang pemuda memang bukan jumlah yang banyak. Namun, dari 70 pemuda dan pemudi yang ada, hanya 10 orang inilah yang masih bertahan di kampung Cimande, nama lain Sukalillah. Pekerjaan harian mereka termasuk serabutan. Ada yang berdagang, buruh harian, dan ada pula yang hanya mencari kayu semata untuk membuat dapurnya berasap. Barangkali, api semangat para pemuda ini sudah padam, sebelum akhirnya dinyalakan kembali oleh Ipan dan ketiga orang lainnya.

Meskipun demikian, butuh kerja keras untuk membangkitkan kembali motivasi para pemuda ini. Itang Nur Syamsi, koordinator penanaman jagung, mengaku butuh waktu berbulan-bulan untuk memantik api semangat para pemuda. Dia dan dua teman lainnya aktif membangun forum informal dengan kawan-kawan pemuda lainnya. Sembari menyeduh kopi dan merokok serta ngaliwet, mereka kerap berdiskusi, berbagi pengetahuan, hingga saling memotivasi satu sama lain.

“Awalnya anak-anak (para pemuda) menolak,” kisah Syamsi. Meskipun demikian, Syamsi pantang menyerah. Bahkan, dia harus membuka forum sesering mungkin. Kadang dua pekan sekali, bisa sepekan sekali, bahkan kerap setiap malam mereka berkumpul. “Supaya saling menguatkan,” imbuhnya.

Dan benar saja, setelah berbulan-bulan mencoba mengumpulkan para pemuda, Syamsi dan kawan-kawannya berhasil memperkuat mereka. Bukan hanya ikatan semata, tetapi juga memperkuat tekad para pemuda untuk berbuat yang terbaik untuk desa mereka, khususnya dalam bidang pembangunan ekonomi berbasis potensi masyarakat desa.

Syamsi dan kawan-kawannya memaklumi mental para pemuda di desanya yang sudah jatuh hingga ke batas terendah dirinya. Faktor pertama, mereka umumnya berasal dari keluarga pra-sejahtera dengan tingkat pendidikan yang termasuk rendah, yaitu hanya tamat Sekolah Menengah Pertama. Faktor kedua, rendahnya tingkat pendidikan ini memaksa mereka untuk mengadu nasib ke kota tanpa bekal yang mumpuni. Di kota, mereka malah semakin terpuruk dengan kualitas hidup yang semakin rendah.

Faktor ketiga, ketika berada di kampung halamannya, desa selalu menganak-tirikan para pemuda, khususnya dalam proses pembangunan dan pemerintahan desa. Mereka tidak pernah dilibatkan dalam setiap kebijakan desa. Padahal, sebagai pemuda, posisi mereka sangat strategis untuk menunjang desa dan potret masa depannya.

“Bahkan, program pemberdayaan desa tidak pernah menyentuh para pemuda,” Ipan Zulfikri kemudian melengkapi. Menurutnya, program pemberdayaan desa hanya mengirimkan orang-orang yang sudah tua untuk mengikuti seminar dan peningkatan kapasitas ke kota. “Kembali ke desa, mereka (para orang tua) lupa (dengan materinya),” kritik Ipan. “Uangnya (dana desa) habis, seminarnya pun tidak berbekas,” seloroh tokoh pemuda Priangan Timur ini.

Para pemuda Sukalillah ingin mengubah pola-pola kolot semacam ini di tingkat desa. Salah satu caranya, mendorong pemerintah desa untuk meningkatkan peran dan kapasitas karang taruna ke tingkat yang lebih strategis. Dalam hal ini, termasuk manajemen pemerintah desa dan pengembangan ekonomi masyarakat.

Socio-Ekonomi Pemuda Desa

Ipan, Syamsi, dan para pemuda Sukalillah berusaha mewujudkan idealismenya ke dalam bentuk nyata. Tahap pertama, mereka menggarap lahan tidur milik desa dan menanam jagung di atasnya. Komoditas pertanian tersebut dipilih karena memiliki nilai pasar yang cukup baik dengan tingkat perawatan yang cenderung mudah.

Para pemuda Cimande bekerja keras untuk merapihkan lahan desa yang sudah tertidur selama 20 tahun. (Foto: Istimewa)

Ternyata, bukan hal yang mudah untuk menanam jagung di lahan tidur tersebut. Pertama-tama, mereka harus berjibaku membersihkan ilalang dan perdu yang sudah mendiami lahan tersebut hampir 20 tahun lamanya. Setiap hari selama sebulan penuh, mereka bermandikan peluh untuk membuat lahan desa tersebut siap menjadi lapang dan siap tanam.

Beruntung, para pemuda Sukalillah banyak mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Salah satunya dari Gerakan Pemuda Tani Indonesia (GEMPITA). Mereka menyediakan mesin besar untuk mengolah lahan yang sudah lapang, sehingga bisa ditanami jagung. Pemerintah desa juga memberikan apresiasi dan sedikit modal untuk para pemuda mewujudkan impiannya. “Tidak seberapa (bantuannya), tapi pemuda gembira dan semakin termotivasi. Itu yang penting,” ungkap Ipan.

Menurut Ipan, bertani merupakan langkah strategis para pemuda Sukalillah untuk mandiri. Mereka harus memiliki sokongan ekonomi sebagai landasan untuk membangun desanya. Harapannya, pondasi ekonomi pemuda ini bisa mempercepat gerak mereka tanpa membebani masyarakat lainnya.

Ipan juga mengaku terkejut dengan munculnya budaya bertani tradisional yang sempat hilang di Sukalillah. Mereka menyebutnya sebagai Rukun Gawe, sebuah metode gotong royong dalam bertani. Konsep ini merujuk kepada aktivitas para petani yang saling membantu menggarap lahan satu sama lain. “Bertani secara kolektif,” sebut pria bergelar Sarjana Pendidikan Islam ini.

Konsep Rukun Gawe sempat hilang seiring dengan mewabahnya modernisasi dan kapitalisasi ke tingkat desa. Modernisasi dan kapitalisasi mendorong para pemilik tanah untuk mengupahkan garapan lahannya kepada buruh tani. Dampaknya, bertani selalu butuh modal besar. Dampak sosialnya, metode ini memunculkan dua kelas yang saling bertentangan: pemilik tanah dan buruh tani.

Berkat kerja kolektif di lahan jagung pemuda Sukalillah, kini Ipan dan kawan-kawannya bisa melihat bangkitnya konsep Rukun Gawe di desanya tersebut. Saat ini, terdapat 6 Rukun Gawe di Desa Jenggala yang masing-masing beranggotakan 10 orang. Dengan demikian, ada 60 orang masyarakat Desa Jenggala yang terlibat dalam Rukun Gawe.

Ke depan, Ipan bertekad untuk membangun kerja kolektif seperti ini di desanya. Selain dampak ekonomi berupa kesejahteraan masyarakat, Ipan juga percaya bahwa kerja kolektif bisa mendorong masyarakat desa untuk fokus bekerja sesuai bidangnya. Bila masyarakat berprofesi sebagai petani, dia akan fokus untuk membangun produktivitas pertanian dengan potensi yang ada. “Pola-pola seperti ini yang sedang kami bangun,” tekadnya.

Cita-Cita Semesta

Menanam jagung di lahan tidur desa bukan tujuan terbesar para pemuda kampung Sukalillah. Menurut Ipan, ada empat hektar lahan desa lainnya yang masih tertidur pulas. Lokasinya, tepat di bukit di atas lahan jagung para pemuda. Seiring menguatnya ekonomi para pemuda, lahan tidur tersebut akan mereka sulap menjadi laboratorium konservasi desa.

Rencananya, Ipan dan para pemuda akan membangun hutan di lahan tersebut. Hutan tersebut sedianya akan menjadi sumber mata air utama, seperti dalam cerita-cerita pada masa lalu di Sukalillah. Di antara hutan dan lahan jagungnya, para pemuda juga merencanakan untuk membangun klinik pertanian. Di sini, Ipan dan kawan-kawannya akan belajar sekaligus berbagi ilmu pertanian. Tujuannya sederhana: mengembalikan jati diri masyarakat desa yang hidup dengan tanah dan pertanian.

Mereka juga berencana untuk membangun sentra ternak di lahan tersebut. Jenis ternaknya pun berdasarkan pakan yang tersedia melimpah di Sukalillah, seperti domba dengan pakan utamanya berupa rerumputan dan ayam dengan pakan utamanya berupa jagung. Ternak sendiri berfungsi untuk memperkuat basis ekonomi para pemuda ini. “Dan kotorannya bisa kami olah sebagai pupuk bagi tanaman,” papar Ipan.

Bagi masyarakat luas, para pemuda juga sudah merancang agro wisata desa untuk menarik masyarakat agar mau belajar kembali tentang pertanian. Langkah pertama, Ipan dan kawan-kawannya mulai menanam bunga-bungaan di sekeliling tanaman jagung. Selain untuk meningkatkan keindahan kawasan, bunga-bunga ini juga mendorong proses penyerbukan tanaman jagung, sehingga bisa menghasilkan panen yang lebih baik.

Ke depannya, kawasan bunga inilah yang akan menjadi lokasi agro wisata. Pihaknya telah mempersiapkan lahan setengah hektar sebagai lokasi agro wisata sekaligus laboratorium pertanian Cimande. Bagi Ipan dan kawan-kawan, ini bukan semata-mata hanya untuk memanfaatkan lahan semata. Lebih besar dari itu, bagi para pemuda, gerakan ini merupakan langkah pertama untuk menggapai cita-cita semesta yang selalu diajarkan para leluhur. “Orang Cimande itu hidup dengan tanah,” ungkap Ipan. “Sudah seharusnya mereka juga menata nilai-nilai semesta yang terkandung di dalam tanah,” tandasnya.(Yudha P. Sunandar)***


komentar

Komen yang ditutup, tetapi jejak balik dan ping balik terbuka.